Perhutanan Sosial : Asa Menjaga Sumber Daya Bersama (Kumpulan Studi dan Pembelajaran di Indonesia)

0
338

Hardin (1968), dalam teori “tragedy of the commons” menjelaskan bahwa tragedi sumber daya (baca:hutan) terjadi sebagai hasil dari eksploitasi yang berlebihan, ekstraksi terus-menerus dan mismanajemen sumber daya tersebut. Walaupun pengelolaan hutan oleh negara banyak yang berhasil, di sisi lain juga menghadapi banyak tantangan konflik pemangku kepentingan dan membutuhkan biaya yang tinggi (Ostrom, 2003). Sebagai salah satu sumber daya bersama (Common-pool resources/CPRs), hutan seringkali menyebabkan konflik di dalam pemanfaatannya (Schlager & Ostrom 2005), misalnya, klaim berlebihan atas sumber daya hutan dikarenakan pemaknaan yang sempit terhadap hak properti. Untuk mengatasi dilema sumber daya bersama tersebut, pengelolaan hutan harus diakui secara kolektif oleh masyarakat melalui pelibatan masyarakat (Fleischman et al., 2014). Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, harus ditekankan sebagai “tujuan” pengelolaan hutan secara luas (Asmin et al., 2019; Gehrig et al., 2019).

Sejarah pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara global tidak terlepas dari penerapan strategi kehutanan sosial (social forestry) dalam pengelolaan hutan di sebagian negara-negara tropis dunia pada akhir 1970-an. Stimulus penting terjadi pada musyawarah dalam Kongres Kehutanan Dunia Kedelapan yang diselenggarakan pada tahun 1978 di Jakarta dengan tema “Forest for People”. Sejak saat itu, strategi kehutanan sosial dalam pengelolaan hutan terus berkembang dan mengalami transformasi pendekatan dan kebijakan pembangunan kehutanan (Veriasa, 2019).

Berbagai istilah pun muncul selama perkembangannya tersebut misalnya ‘kehutanan sosial’ atau ‘hutan sosial’, ‘perhutanan sosial’ bahkan ‘hutan kemasyarakatan’. Berbagai istilah tersebut digunakan untuk merujuk pada kebijakan dan kegiatan kehutanan yang melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan di kawasan perdesaan, dengan pemberian tanggung jawab pengelolaan (sebagian), dan mendapatkan manfaat secara langsung (Wiersum 2004). Di Indonesia, dorongan perubahan paradigma state-based forest management atau pengelolaan hutan yang dikontrol secara memusat oleh pemerintah, terus menguat dan dituntut oleh berbagai pihak. Penerapan strategi kehutanan sosial penting dilakukan sebagai upaya mengatasi masalah-masalah kehutanan Indonesia. Pengarusutamaan sosial kemasyarakatan dalam pengelolaan hutan Indonesia, diarahkan pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat; bukan ekstraksi kayu ataupun pengelolaan produksi kayu, melainkan pengelolaan hutan berbasis ekosistem. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat menekankan pada subjek atau pelakunya, yaitu masyarakat desa hutan, sedangkan pengelolaan hutan berbasis ekosistem menekankan pada objek dan wilayahnya (Suharjito, 2014).

Di era sekarang, Perhutanan Sosial jauh lebih memiliki pemaknaan dan pengaturan yang jelas melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016. Kebijakan ini menjelaskan bahwa perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK).

Akses buku ini melalui tautan berikut https://bit.ly/bukuperhutanansosial