Focus Group Discussion (FGD) Kajian Pengembangan Kerjasama Kawasan Berbasis Potensi Unggulan Lokal Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional Dari Dampak Pandemi Covid-19

0
181

Article 33 Indonesia bersama KemenkoPMK dan FES menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Kajian Pengembangan Kerjasama Kawasan Berbasis Potensi Unggulan Lokal dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi dari Dampak Pandemi Covid-19”. FGD ini diperuntukkan sebagai pendalaman kajian analisis untuk mendapatkan masukan dari berbagai stakeholders terkait pengembangan kawasan DPSP Danau Toba melalui potensi unggulan di setiap daerah. Selain itu, FGD ini akan memberikan gambaran pengembangan kawasan DPSP kepada pemerintah daerah kawasan DPSP Danau Toba melalui potensi unggulan di setiap daerah. Agenda ini diselenggarakan secara daring pada Selasa (20/12/2022) menghadirkan narasumber dari Nailul Huda, Salsa Kusumawardani, dan Abdurrahman Harits selaku Tim Peneliti Article 33 Indonesia, Ir. Mustikorini Indrijatiningrum, M. E selaku Asisten Deputi Pemberdayaan Kawasan dan Mobilitas Spasial KemenkoPMK, Aryani Septenti Kartini selaku perwakilan dari BAPPEDA Provinsi Sumatera Utara, dan Mariana Simanjuntak selaku perwakilan dari Institut Teknologi Del.  

Direktur Eksekutif Article 33 Indonesia, Santoso menyampaikan bahwa Article 33 Indonesia sudah melakukan studi kuantitatif dan kualitatif terkait sektor unggulan di kawasan pariwisata unggulan Danau Toba. Article 33 Indonesia mencoba menggali sektor apa saja yang berpotensi untuk dikembangkan di kemudian hari dan diharapkan berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan Danau Toba hingga Sumatera Utara secara umum.  Apa yang dilakukan Article 33 Indonesia diharapkan tidak hanya menjadi kajian saja, tetapi menjadi program-program unggulan di Sumatera Utara, terutama dalam rangka memastikan bahwa UMKM di Sumatera Utara bida berdaya. Oleh karena itu, harus ada tindak lanjut konkrit dari pemerintahan daerah, OPD, sektor swasta dan lain sebagainya dalam kegiatan-kegiatan selanjutnya, dan tidak hanya berhenti disini saja.

Dalam pemaparan Nailul Huda dari Tim Peneliti Article 33 Indonesia dalam FGD, mengungkapkan hasil analisis keterkaitan antar sektor dan wilayah dan hasil analisis strategi investasi, dan hasil analisis potensi ekonomi melalui UMKM di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Toba, dan Kabupaten Samosir. Hasil analisis keterkaitan antar sektor memperlihatkan bahwa dalam penyediaan input ke sektor pariwisata di Sumatera Utara, ternyata jasa penyediaan makan dan minum merupakan sektor yang banyak disediakan oleh aktivitas ekonomi di luar provinsi. Sedangkan, sektor kunci di Provinsi Sumatera Utara adalah industri makanan dan minuman, industri kertas, industri karet, industri logam dasar, industri alat angkutan, ketenagalistrikan, angkutan darat, dan pergudangan. Dalam keterkaitan antar wilayah, Provinsi Sumatera Utara menjadi provinsi kunci dalam pertumbuhan ekonomi secara nasional. Hal tersebut dikarenakan Provinsi Sumatera Utara mampu menyerap input dari provinsi lainnya dengan lebih tinggi, dan mampu memproduksi input bagi provinsi lainnya. 

Analisis Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang dilakukan oleh tim peneliti Article 33 Indonesia, menemukan bahwa untuk kebutuhan investasi di ketiga kabupaten ini, setidaknya untuk mencapai 5.09 persen kebutuhan investasi di Kabupaten Samosir itu sebesar 766 Miliar, kemudian di Kabupaten Simalungun paling tidak masuk 13 Triliun. Sedangkan, kebutuhan investasi Kabupaten Toba itu sebesar 2 Triliun. Dengan adanya penambahan investasi di ketiga kabupaten tersebut berdampak terhadap PDB Nasional adalah penambahan PDB sebesar Rp. 3,2 Triliun. Sedangkan, PDRB Sumatera Utara bertambah sebesar Rp. 2,8 Triliun. 

Secara umum hasil analisis potensi ekonomi melalui UMKM di ketiga kabupaten yang dipaparkan oleh Salsa dan Harits ini memiliki potensi untuk pengembangan digitalisasi UMKM dan BUMDes, namun masih perlu banyak penguatan. Selain itu, momentum acara besar kepariwisataan dapat menjadi salah satu titik balik untuk mendorong digitalisasi UMKM, namun juga tidak boleh menjadi alasan ketergantungan pendapatan. Lalu, pelatihan digitalisasi dan peningkatan kualitas produk harus terus dilaksanakan secara berkelanjutan.  Kemudian, pola kerjasama antara UMKM dengan usaha besar membutuhkan interkoneksi yang lebih baik serta intervensi langsung dari pemerintah daerah. Dalam melakukan usaha narasumber memilih untuk menggunakan modal yang berasal dari dana pribadi dan relasi, dan kebanyakan usaha berada di penyediaan makan, dan minum serta souvenir pariwisata. Terakhir, kendala dari digitalisasi ekonomi pada UMKM utamanya berasal dari ketersediaan SDM yang cakap digital.

Ir. Mustikorini Indrijatiningrum, M.E selaku Asisten Deputi Pengembangan Kawasan dan Mobilitas Spasial KemenkoPMK yang menanggapi pemaparan dari hasil temuan Article 33 Indonesia dengan pembahasan “Pemberdayaan Kawasan dalam Rangka Mengembangkan Potensi Unggulan”, menyatakan bahwa kolaborasi menjadi penting di dalam membangun ekonomi lokal dan membangun potensi unggulan yang ada desa. Jadi, pemerintah, akademisi, dunia bisnis, komunitas, dan media semuanya harus bergerak dan tidak bisa salah satunya saja. Kita membutuhkan sebuah kolaborasi yang komprehensif untuk semuanya terkait ekonomi lokal produk unggulan di Sumatera Utara dan Danau Toba. Selain itu, keterkaitan antara apa yang menjadi fokus dari pemerintah, itu harus mendapatkan dukungan dari dunia industrinya. Misalnya ada kerajinan, atau produk kopi di Parbaba itu bagaimana caranya bisa dipasarkan. Tentunya butuh agen pemasaran atau off-taker atau mitra. Hal semacam ini dapat berdampak luas terhadap daerah untuk memajukan ekonomi dan produk unggulan daerah. 

Dunia akademisi atau perguruan tinggi juga diharapkan oleh Mustikorini dapat melakukan riset, inovasi, hingga pendampingan kepada masyarakat. Ditambah komunitas di masyarakat juga bisa dimanfaatkan dalam membangun ekosistem ekonomi ini. Lalu, pemanfaatan media komunikasi dalam pariwisata menjadi sebuah hal yang penting untuk pemasaran produk dan peningkatan ekonomi unggulan daerah, seperti digitalisasi pemasaran produk yang dapat memberikan multiplier effect yang luas. Tidak boleh luput juga, adanya kriteria yang harus dipenuhi dalam pengembangan produk unggulan daerah ini yaitu dapat memberikan peluang untuk penyerapan tenaga kerja, sumbangan ekonomi, sektor basis wilayah, dapat diperbaharui, serta yang lebih penting berkearifan lokal dan ketersediaan pasarnya. Sehingga, pengembangan produk unggulan ini tidak hanya di sisi hulunya saja, tetapi hingga hilirnya. 

Pemaparan dan penanggap dari Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang diwakili oleh Aryani Septenti Kartini mencoba membahaskan terkait “Peluang Pengembangan Pariwisata di DPSP Danau Toba” yang menjelaskan bahwa DPSP Danau Toba memiliki hambatan dalam pengembangan pariwisatanya yaitu status kepemilikan lahan yang clean dan clear, karena masih ada irisan dengan tanah negara dan tanah adat. Kemudian, adanya isu lingkungan terutama rawan bencana kebakaran, deforestasi, dan penurunan kualitas air Danau Toba. Lalu, masih kurangnya kualitas dan kuantitas SDM Pariwisata, karena basic mata pencaharian masyarakat sekitar Danau Toba adalah pertanian. Terakhir, masih kurang optimalnya koordinasi antar pemangku kepentingan, baik itu pemerintah pusat maupun daerah. 

Bappeda Sumatera Utara juga sudah dilakukan sinergitas dan kolaborasi antar stakeholders seperti bekerjasama dengan akademisi, komunitas, dan media. Komunitas termasuk BUMDes, Pokdarwis dan Karang Taruna. Dalam kegiatan-kegiatan pemerintah juga terutama dalam pelatihan sadar wisata sudah melibatkan Pokdarwis. Yang kita perlu kita perkuat adalah BUMDes dan Karang Taruna, kita memerlukan local champion dalam pengembangan terutama desa wisata. Selain itu, bermitra bisnis dengan ASITA dan PHRI dan untuk supporting digital marketnya bisa bekerjasama dengan marketplaces. Akademisi yang sudah bekerjasama itu ada Universitas Sumatera Utara, Poltekpar, dan Universitas Swasta, tetapi belum dengan universitas lokal yang ada di sekitar Danau Toba. 

Penanggap atas temuan awal Article 33 Indonesia yang berasal dari akademisi diwakili oleh Mariana Simanjuntak dari Institut Teknologi Del, mengungkapkan beberapa tambahan terkait ketidaksepakatan bahwa mata pencaharian masyarakat Danau Toba itu merupakan pertanian. Secara geografis kawasan Danau Toba itu masih banyak lahan kosong, dan panen pertaniannya pun hanya satu kali dalam setahun. Seharusnya, mata pencaharian masyarakat Danau Toba itu adalah bernelayan. Tetapi, masyarakat sekarang juga tidak bisa benar-benar hidup dari nelayan karena sumberdaya ikan yang menurun dan sumberdaya airnya pun menurun di Danau Toba tersebut. Walaupun, di kawasan Kabupaten Simalungun itu yang paling baik diantara kedua kabupaten lainnya terkait pengelolaan pertanian dan UMKM. 

Mariana mengungkapkan bahwa akses digital UMKM memang terbatas, data yang dilampirkan oleh Article 33 Indonesia terkait penggunaan akses digital sebesar 52% memang benar. Tetapi, habit masyarakat dengan digital dianggap masih ambigu atau masih berusaha. Walaupun, pandemi Covid-19 memaksakan masyarakat untuk digitalisasi. Ditambah lagi dengan adanya penyelenggaraan F1 H20 di Balige yang merupakan big event sekelas dunia, dianggap daerah tersebut belum sanggup untuk menampung secara transportasi hingga infrastruktur yang ada sekarang, apalagi semuanya harus dipersiapkan dalam 3 bulan ini. Mariana menganggap bahwa yang harus dipersiapkan dalam penyelenggaraan ini adalah pendekatan dengan merangkul masyarakat (keluarga per keluarga), dan pemerintah tidak hanya menunjuk stakeholders yang dekat dengan lokasi. Selain itu, akademisi dan universitas di Sumatera Utara bisa dilibatkan seperti mahasiswanya untuk membantu mendigitalisasi hal-hal yang baik ada di DPSP Danau Toba dan bekerjasama dengan pemerintah DPSP Danau Toba. Sektor pendidikan dari TK dan SMA juga harus dilibatkan dan dipersiapkan untuk menyambut tamu dan menjual destinasi Danau Toba. 

Filosofi pariwisata destinasi Danau Toba harus dilibatkan baik psikologi, sosiologi, ekonomi, geografi hingga sains, dan adanya pendekatan secara holistik seperti Competitiveness Diamond dimana sebagai sumber daya yang disediakan destinasi, semua orang diajak untuk berkontribusi dalam pertumbuhan dan perkembangan pariwisata. Kemudian, pemerataan ini dimana destinasi Danau Toba perlu promosi pemerataan pada semua pihak. Lalu, memberikan kesempatan yang sama untuk menggunakan dan mengakses destinasi. Oleh karena itu, masa depan yang dijanjikan oleh Mariana adalah fokus pada kapasitas kelanjutan ekosistem global, ekosistem itu destinasi wisata yang diminati. Kemudian, meningkatkan taraf hidup masyarakat seperti harapan hidup, pendidikan, dan kesempatan untuk mencapai masa depan yang cerah. Lalu, promosi penggunaan sumber daya alam terbarukan secara berkelanjutan. Kemudian, adanya solusi berbasis teknologi untuk masalah lingkungan. Terakhir, adanya kemitraan global untuk memfasilitasi kebijakan pembangunan. 

Kegiatan FGD kali ini dihadiri oleh perwakilan dari berbagai lembaga antara lain dari lembaga pemerintahan, Institusi swasta, universitas, lembaga swadaya masyarakat, hingga UMKM. Diantaranya, KemenkoPMK, Friedrich Ebert Stiftung (FES), Bappeda Provinsi Sumatera Utara dan ketiga kabupaten, Disparbud, Disperindag, KADIN, IT Del, Universitas Sumatera Utara, Pelaku UMKM, Dinas PMD, PHRI, hingga Pokdarwis. 

Penulis: Rachmat Satya