[Menuju IDF 2018] Article 33: Biaya Kesehatan Masyarakat Sekitar Tambang Lebih Tinggi

0
178

Tangan Halimah berulang kali mengeruk pasir dalam Sungai Sungumai yang dalam airnya hanya sejengkal tangan. Dia membuat cekungan agar gayung mandi bisa mengambil air tanpa tercampur pasir. Sudah puluhan tahun, Halimah dan warga Rangkiling Bakti lainnya mandi dan mencuci pakaian di sungai.

“Dulu air jernih, sekarang jadi keruh,” ujar Halimah sembari mengucek pakaian. Kisah ini diambil dari laman Mongabay.co.id yang diunggah 13 Maret 2018.

Sejak perusahaan tambang beroperasi di tahun 2016, aliran Sungai Sungumai dialihkan untuk keperluan ekstraktif. Padahal ratusan warga di RT 03 dan 04, Rangkiling Bakti yang bergantung dengan Sungai Sungumai kebingungan mencari air bersih.

Peneliti senior dari Article 33 Indonesia, Ermy Ardhyanti, mengatakan tambang batubara menimbulkan masalah bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Rumah tangga yang tinggal di daerah tambang cenderung memiliki biaya kesehatan yang lebih tinggi, waktu mengumpulkan air yang lebih lama, dan kualitas air yang buruk.

“Rumah Tangga yang tinggal di daerah tambang mengeluarkan biaya kesehatan per kapita lebih tinggi, selisihnya bisa sebesar Rp 238 ribu per tahun di banding yang tidak,” kata Ermy saat di Diskusi Road to Indonesia Development Forum (IDF) 2018 dengan tajuk Visi Batubara Nasional: Menimbang Produksi dan Dampak Lingkungan, awal Juni 2018.

IDF 2018 sendiri merupakan forum yang digelar oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan didukung Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative (KSI). IDF 2018 mendorong percepatan pembangunan di Indonesia yang lebih merata dan berkelanjutan berbasiskan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan fakta.

Tahun ini, IDF mengambil tema “Terobosan Untuk Mengatasi Kesenjangan Disparitas Pembangunan Regional di Seluruh Wilayah Nusantara”. Hasilnya, akan digunakan untuk bahan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024.

Mengenai dampak tambang batubara, Ermy mengatakan tambahan total biaya implisit untuk kesehatan masyarakat sekitar tambang berkisar Rp 1,77 triliun per tahun atau sekitar 0,02 persen dari Gross Domestic Bruto (GDP). Angka ini didapatkan dari mengalikan total penduduk di seluruh wilayah tambang yang mengalami keluhan sakit secara umum.

Dari akses air bersih, Ermy menjelaskan rumah tangga yang tinggal di daerah tambang cenderung menghabiskan waktu lebih lama untuk mengumpulkan air minum. Mereka terpaksa mengkonsumsi air minum yang tak jernih. Alhasil, konsumsi air minum lebih rendah.

Rumah tangga di daerah pertambangan harus menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengumpulkan air bersih. Mereka membutuhkan tambahan waktu berkisar 5-30 menit agar air yang dikumpulkan tidak berbau atau berbusa.

“Berdasarkan nilai pendapatan tahun 2015, maka kisaran nilai waktu yang terbuang tersebut adalah sekitar Rp 1,15 T per tahun atau setara 0.01% GDP,” kata Ermy.

Karena itulah, Ermy menyarankan pertambangan batubara harus mempertimbangkan sebaran tempat tinggal penduduk dan daerah aliran sungai. Dia meyarankan pemerintah mempertimbangkan izin pertambangan batubara dengan kontribusinya terhadap pendapatan negara dan pembangunan.

Menghadapi masukan ini, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinaga mengatakan ada beberapa hal yang patut dicermati dan dipatuhi perusahaan tambang tekait lingkungan. Acuannya, menurut Hendra, ada di Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia No. 34 Tahun 2017.

“Perusahaan wajib menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik, melaksanakan reklamasi dan pasca tambang, melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan, menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai karakteritik daerah, dan menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air,” kata Hendra, mengutip Peraturan Menteri.

Kepala Sub-Direktorat Geologi Mineral Pertambangan dan Panas Bumi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Togu Pardede mengatakan pemerintah membatasi produksi batubara menjadi hanya 400 juta ton per tahun di 2019. Tahun 2016, produksi batubara nasional menembus angka 434 juta ton atau melebihi 3,57 persen dari target sebesar 419 juta ton.

Tahun lalu, produksi batubara mencapai 461 juta ton, masih jauh di atas target yang hanya 413 juta ton. Sementara tahun ini, pemerintah berharap jumlah produksi batubara hanya berkisar 406 juta ton sepanjang 2018. Pembatasan produksi itu penting untuk menjaga keseimbangan lingkungan, khususnya terhadap penambangan batubara di kawasan konservasi.

Beralih ke Industri Hijau

Peneliti Madya Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Joko Tri Haryanto mengatakan daerah yang bisa mandiri mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) biasanya yang mempunyai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi. Umumnya, daerah yang ber-PAD tinggi ini mengandalkan sektor pertambangan migas dan atau batubara.

Daerah pusat tambang seperti Kalimantan dan Sumatera mempunyai kapasitas dan kemandirian fiskal yang kuat. Namun, kata Joko, prospek pertumbuhan ke depan semakin menurun seperti daerah Kalimantan Timur yang mengalami pertumbuhan negatif sepanjang 2010-2017. Hal ini juga terjadi di Sumatera dan Sulawesi.

“Lima besar daerah di Kalimantan mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, senjakala tambang mulai terjadi,” kata Joko.

Sebelum terlambat, Kalimantan Timur berencana hijrah sektoral melalui perencanaan Green Kaltim. Provinsi ini mencari sektor lain untuk dikembangkan pasca-tambang selesai beberapa tahun mendatang. Joko berharap rencana ini diikuti oleh daerah lain yang hanya mengandalkan pendapatan dari hasil tambang. ***

 

Keterangan gambar: PURUK CAHU, 30/1- BATUBARA TERBAIK. Seorang karyawan salah satu perusahaan tambang batubara berdiri di singkapan batubara jenis kokas (coking coal) setebal empat meter yang dialiri sungai kecil dengan membentuk air terjun di Blok Lampunut wilayah Kecamatan Barito Tuhup Raya, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Kamis (29/1).Batubara jenis kokas merupakan jenis emas hitam terbaik dibanding jenis thernal yang dimanfaatkan untuk bahan baku industri pabrik baja. FOTO ANTARA/KASRIADI/ss/pd/09

 

https://indonesiadevelopmentforum.com/2018/article/4945-article-33-biaya-kesehatan-masyarakat-sekitar-tambang-lebih-tinggi