Celah Fiskal untuk Mekanisme Pembagian Manfaat Sektor Kehutanan

0
184

Masyarakat sekitar hutan perlu diberikan insentif atas usahanya menjaga hutan. Konsep Benefit Sharing Mechanism (BSM) atau mekanisme pembagian manfaat, sebagai salah satu alternatif insentif di sektor kehutanan tersebut, diselenggarakan melalui pemetaan kebutuhan melalui identifikasi hak dan manfaat masyarakat sekitar hutan sampai pada tingkat rumah tangga. Dengan identifikasi ini, insentif yang didistribusikan akan tepat sasaran hingga pada prioritas kebutuhannya.

Pada diskusi publik yang diselenggarakan tanggal 19 Januari lalu, Article 33 Indonesia, sebuah lembaga riset yang berfokus pada tata kelola sektor ekstraktif, menawarkan konsep penggunaan celah fiskal sebagai solusi pendanaan mekanisme pembagian manfaat sektor kehutanan yang berkelanjutan. Bersama perwakilan masyarakat sipil antara lain Forest Watch Indonesia (FWI), Auriga Nusantara, Epistema Institute, HuMa, PWYP Indonesia, JPIK dan Sajogyo Institute, dibahas beberapa celah fiskal seperti dana amanah konservasi dan skema insentif/disinsentif sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; earmarking Dana Bagi Hasil (DBH); dan akses Dana Alokasi Khusus (DAK).

Menurut Joko Tri Haryanto dari Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, adapun DAK yang dapat digunakan untuk membiayai BSM antara lain DAK tentang lingkungan dan kehutanan serta DAK infrastuktur publik daerah.

Diskusi publik ini dihadiri oleh para akademisi, perwakilan masyarakat sipil, dan para pemangku kebijakan, sebagian besar merupakan staf ahli komisi IV DPR RI dari berbagai fraksi.

Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyambut baik usulan dan rekomendasi celah fiskal tersebut, terutama yang memungkinkan mekanisme pembagian manfaat bergerak dengan cepat di ruang-ruang di bawah aturan yang ada sembari melihat mana aturan yang perlu dibenahi. Ini merupakan momentum yang tepat selepas perhelatan COP 21 di Paris, yang sejalan dengan usaha untuk mengurangi emisi, deforestasi, dan degradasi hutan melalui keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan terutama masyarakat lokal sekitar hutan.

Riset BSM dengan menggunakan celah fiskal telah dijajaki melalui serangkaian riset yang telah dilakukan oleh Article 33 sejak tahun 2013. Yang pertama kali digagas Article 33 melalui serangkaian riset di Kabupaten Bungo, Jambi, adalah melalui earmarking dana bagi hasil sumber daya alam yang diterima oleh daerah di tingkat Kabupaten, terutama dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan iuran produksi tambang. Penerima insentif yang disasar yaitu masyarakat adat Datuk Sinaro Putih, yang memiliki kegiatan patroli rutin secara mandiri untuk menjaga hutan adatnya. Usaha inilah yang kemudian diajukan ke dalam skema BSM oleh Article 33. Pendampingan dengan melalui deliberasi sosial untuk pemetaan kebutuhan dilakukan bersama dengan pemerintah Kabupaten Bungo. Capaian yang didapat yakni komitmen pemerintah daerah untuk menindaklanjuti skema insentif ini, karena berimplikasi baik bagi kelestarian hutan.

Karena capaian itulah, penelitian selanjutnya diarahkan untuk melihat celah fiskal lainnya selain DBH. Celah fiskal tetap menjadi kajian utama untuk BSM karena dianggap lebih bersifat jangka panjang. Selain itu, atas dasar Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945, bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penggunaan fiskal merupakan wujud dari kehadiran negara dalam pengelolaan hutan lestari yang juga menyejahterakan masyarakat di dalamnya.

Menurut Muhammad Robbi Qawi, peneliti Article 33 Indonesia, Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) seharusnya diterbitkan sesuai UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dua PP, masing-masing tentang dana amanah konservasi dan skema insentif/disinsentif, akan dapat menjadi payung hukum bagi skema mekanisme pembagian manfaat. Penetapan PP ini diharapkan memantik pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran insentif bagi masyarakat lokal hutan yang berkontribusi bagi konservasi.